Memiliki anak adalah buah hati, belahan jiwa dan perhiasan dunia, apalagi ketika si buah hati tumbuh besar menjadi anak saleh yang cerdas adalah keuntungan dan kebahagiaan. Sehingga anak menjadi simpanan abadi, tabungan akhirat dan kebanggaan orang tua selamanya, namun harapan tidak selamanya mulus, karena salah menempuh jalur hidup yang benar, Ali bin Abu Thalib berkata,
“Engkau berharap kesuksesan semantara tidak berjalan pada tempatnya.
Sesungguhnya perahu tidak mungkin berlayar di daratan.”
(Lihat Tafsir Ruhul Ma’ani, al-Alusy, 4/395)
Ada sebuah kasus yang menimpa seorang wanita. Ia memiliki lima anak tapi harus mendekam di penjara. Ia tertangkap basah petugas saat sedang melakukan transaksi ganja. Pada saat saya mengisi kerohanian untuk para napi di LP wanita Tangerang, di sela-sela acara perkenalan, ada seorang ibu setengah baya sambil menangis mengadukan permasalahannya kepada saya. Ia benar-benar sedih dengan kondisi rumah tangga yang dialaminya.
Pasalnya, sang suami tidak bertanggung jawab, jauh dari agama, kasar terhadap anak dan istri, dan wataknya sangat keras. Bahkan selama lima tahun sudah tidak memberi nafkah materi maupun batin. Sang istri pun sering dipukuli dan dimintai uang untuk keperluan macam-macam.
Keinginan si ibu untuk mempunyai anak saleh yang bisa berbakti kepada kedua orang tuanya sangat tinggi. Ia tidak ingin anak-anaknya seperti bapaknya. Akhirnya, ia pun memutuskan memasukkan anak-anaknya ke pesantren. Ia berharap, anak-anaknya menjadi saleh dan cerdas serta mengerti ilmu agama. Namun karena kondisi ekonominya yang sangat ekstrim, sang ibu yang sudah lelah mencari nafkah dengan cara halal, menempuh jalan pintas. Akhirnya ia terpaksa menjual rumput aceh alias ganja untuk biaya pesantren anak-anaknya, maka benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya setiap umat ada fitnah (yang merusaknya) dan fitnah umatku dari harta.” (Shahih al-Jami, no. 2148)
Memang hal buruk dapat dengan mudah dijalani, apalagi di saat keimanan melemah dan kondisi hidup menekan dan hal itu menimpa seorang perempuan yang lemah akal dan agama. Ia menjadi sangat mudah terpengaruh rayuan dan godaan. Bahkan di antara mereka ada yang melacurkan kehormatannya, hanya karena alasan ekonomi dan membiayai keluarga.
Banyak di antara para sahabat dan generasi salafus shalih yang kondisinya jauh lebih miskin, tapi tidak menjadikan mereka gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk mengais harta. Bahkan mereka tetap bertahan pada prinsipnya, walaupun rayuan iblis mengitarinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,
“Jika di antara kalian merasa kesulitan dengan rezekinya, maka jangan dicari dengan cara maksiat. Karena sesungguhnya karunia Allah tidak bisa dicari dengan cara maksiat.” (HR. al-Hakim)
Kesabaran dan ketakwaan terkadang perlu terus dibina, diasah dan diasuh, terutama ketika menghadapi cobaan kemiskinan. Karena miskin dan kaya, derita dan bahagia, sehat dan sakit adalah ujian dari Allah untuk menguji hamba-Nya, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.
(Sumber: Kalau Kau Jantan Ceraikan Aku, ust. Zainal Abidin Bin Syamsuddin, Lc, Pustaka Imam Bonjol)