لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal ditumpahkan darah (dibunuh) seorang muslim yang telah bersyahadat “la ilaha illallah” dan dia bersyahadat bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dia melakukan salah satu dari 3 hal: melakukan zina dan dia adalah seorang yang pernah menikah, membunuh jiwa orang lain, dan keluar dari agama Islam (murtad) yang memberontak terhadap pemimpin yang bertakwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menjelaskan bahwa tidak boleh menerapkan hukuman pancung kepada seorang muslim yang melakukan tindak kejahatan apapun, kecuali ia adalah pelaku salah satu dari tiga kejahatan yang telah disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Dan pelaku tindak korupsi tidak termasuk salah satu yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan juga alasan tidak boleh menerapkan hukuman mati terhadap koruptor, andaikan seorang yang mencuri harta negara dari kantor kas negara yang tidak dipercayakan kepadanya untuk mengurusinya tidak boleh dibunuh. Ia hanya boleh dijatuhi hukuman potong tangan apalagi seorang koruptor yang mengambil harta yang dipercayakan kepadanya. Wallahu a’lam.
(Sumber : halal haram muamalat kontemporer)