Sebagaimana kata Ibnu Mulaqqin Asy-Syafi’i dalam Al-I’lam bi Fawaid Umdah Al-Ahkam (6:286), “Yang dimaksud jagal itu sudah diketahui bersama yaitu orang yang menangani pengulitan dan memotong daging hewan yang disembelih.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa boleh mengupahi seseorang untuk menyembelih qurban. (Syarh Shahih Muslim, 9:59) Namun upah tersebut tidak diambil dari hasil qurban.
Dalil dari hal ini adalah riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). AKu tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim no. 1317)
Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59)
Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al-Hasan Al-Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.” Imam Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah bertentangan dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (idem)
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shahibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Kalau hasil qurban diserahkan kepada jagal karena alasan status sosialnya yaitu dia miskin atau sebagai hadiah, maka tidaklah mengapa.
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (5:105) disebutkan, “Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat : Haram memberikan tukang jagal upah dari hasil qurban dengan alasan hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Namun kalau diserahkan kepada tukang jagal tersebut karena statusnya miskin atau dalam rangka memberi hadiah, maka tidaklah mengapa. Tukang jagal tersebut boleh saja memanfaatkan kulitnya. Namun tidak boleh kulit dan bagian hasil qurban lainnya dijual.”
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan, “Namun jika hasil qurban diberikan kepada tukang jagal karena statusnya yang miskin, atau sebagai status hadiah (jika dia orang kaya, pen), maka tidaklah mengapa. Ia berhak untuk mengambil jatah tersebut karena posisinya sama dengan yang lain, bahkan ia lebih pantas karena dia yang mengurus langsung proses penyembelihan dst sehingga hatinya ingin ikut mendapatkannya. Akan tetapi lebih tepat, jika upah kerjanya sebagai jagal dibayarkan utuh terlebih dahulu, baru hasil qurban (dengan status sedekah jika dia miskin atau hadiah jika dia kaya, pent). Upah jagal itu lebih baik diberikan utuh terlebih dahulu sebelum diberi bagian dari hasil hewan qurban dengan pertimbangan supaya upah sebagai jagal tidak dikurangi dengan alasan sudah diberi jatah dari hewan qurban. Pertimbangan dan alasan semacam ini menyebabkan status bagian dari hewan qurban yang diberikan kepada jagal tersebut adalah upah kerjanya sebagai jagal (padahal menjadikan daging hewan qurban untuk upah jagal adalah tindakan terlarang, -pen.)” (Minhah Al-‘Allam, 9:299)
Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal
(Sumber : Panduan Qurban, Pustaka Muslim)