Maksudnya adalah terlarang menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban baik berupa kulit, wol, rambut, daging, tulang dan bagian lainnya.
Dalil terlarang hal ini adalah hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelihan udh-hiyah (qurban). Tetapi makanlah, bershodaqohlah, dan gunakan kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya.” Hadits adalah dha’if (lemah). (HR. Ahmad)
Walaupun hadits dha’if, menjual hasil sembelihan qurban tetap terlarang. Alasannya, qurban disembahkan sebagai bentuk taqorrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak boleh diperjual-belikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah mencapai nishab (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima yanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqorrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana nanti akan kami jelaskan. (Lihat keterangan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh As-Sunnah, 2/379)
Dari sini, tidak tepatlah praktik sebagian kaum muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Al-Hakim) Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Syafi’i mengatakan, “Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.” (Lihat Tanwir Al-‘Ainain bi Ahkam Al-Adhohi wa Al-‘Idain, hlm. 373)
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan. (Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:379) Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan. Wallahu a’lam
Catatan penting yang perlu diperhatikan : Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan jual beli yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawadhih Al-Ahkam (Lihat Tawdhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 4:465) dan Ash-Shan’ani dalam Subul As-Salam (Lihat Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 7:341). Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktikkan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Mengenai penjualan hasil sembelihan qurban dapat kami rinci :
1. Terlarang menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama. (Lihat Tawdhih Al-Ahkam, 4:465 dan juga Subul As-Salam, 7:341)
2. Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat :
Pertama : Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahih hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua : Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm (2/351). Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.” (Lihat pendapat Imam Asy-Syafi’i ini dalam Tanwir Al-‘Ainain bi Ahkam Al-Adhohi wa Al-Idain, hlm. 373)
Ketika : Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi (Disebutkan dalam Syarh Shahih Muslim, 9:59)
. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahih hadits yang melarang menjual kulit.
Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal
(Sumber : Panduan Qurban, Pustaka Muslim)