Para ulama sepakat bahwa ihtikar diharamkan karena merugikan khalayak ramai. Di mana aksi tersebut menyebabkan barang langka dan harga naik melambung tinggi. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid II, hal 91)
Jika seseorang pedagang membeli barang pada saat murah, lalu disimpan hingga harga naik dan dijual pada saat itu sesuai dengan harga pasar, aksi ini tidak termasuk ihtikar. Dengan catatan, aksi ini tidak merugikan orang banyak dan tidak merusak harga, karena barang tetap dijual dipasar oleh pedagang lain.
Mengenai harga jual yang lebih tinggi daripada harga saat dibeli adalah logis. Sebanding dengan bertambahnya biaya operasional penyimpanan barang hingga saat barang dijual. Dan ini merupakan salah satu siasat dagang yang dibolehkan.
Imam Malik ditanya tentang orang yang menyimpan barang, yang aksinya tidak mengganggu harga pasar. Ia menjawab, “Aksi yang dilakukannya boleh selagi tidak merusak pasar” (Al Mudawwanah Al Kubra, jilid X, hal 291)
Dalam Taklimat Al Majmu’ juga dijelaskan, “Ihtikar yang diharamkan, yaitu : membeli barang pada saat harga naik dan ditimbun agar harganya lebih tinggi lagi … adapun jika membeli barang pada saat harga murah (musim panen) lalu ditahan hingga harga naik dan dijual saat itu, maka tidaklah diharamkan. (Al Muth’i, jilid XIII, hal 44)
Diriwayatkan bahwa Abu Zinad mempertanyakan aksi Sa’id Al Musayyib (wafat : 94 H) menyimpan bahan makanan pokok, padahal dia yang meriwayatkan hadits larangan ihtikar. Ibnul Musayyib menjawab,
“Ini bukanlah ihtikar. Yang dimaksud Nabi dengan ihtikar adalah membeli barang pada saat harga tinggi dan aksi ini tentu akan menambah harga menjadi lebih tinggi lagi. Adapun membeli barang pada saat harga murah lalu disimpan hingga harganya naik dan dia jual saat masyarakat ramai membutuhkan, maka perbuatan ini adalah suatu kebajikan”. (Atsar ini diriwayatkan oleh Baihaqi)
Ibnul Musayyib menganggap tindakan tersebut sebagai sebuah kebajikan, karena tindakan pedagang menyimpan hingga menjualnya pada saat orang banyak membutuhkan termasuk dalam rangka mempertahankan keberadaan barang setiap musim. Jika hal ini tidak dilakukan tentulah barang akan sangat langka diluar musim panen dan harga tinggi. Sebaliknya, di musim panen harga rendah bahkan dapat terbuang percuma. Akibat yang ditimbulkan bila tidak ada aksi penyimpanan sementara ini tentu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang melarang perbuatan mubazir.
(Sumber : Halal haram muamalat kontemporer, ust. Erwandi Tarmizi, Ma, BMI publishing)