Soal;
Bolehkah membuka jilbab bagi perempuan yang sudah menopause dan sudah tidak berkeinginan menikah lagi?
Jawaban:
Bismillah. Alhamdulillah washshalatu wassalam ‘ala rasulillah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi), mereka tidaklah berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. Dan menjaga kesucian diri mereka adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur: 60)
Siapakah wanita tua yang dimaksudkan di dalam ayat di atas?
Mengenai perkataan Allah,
“Wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi)”, para ulama berselisih pendapat dalam mengartikannya, di antara pendapat yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut[1]:
- Dia adalah wanita yang tua yang sudah tidak bisa melakukan banyak hal karena umurnya yang telah tua dan dia telah terhenti dari mengandung dan haid. Ini adalah pendapat sebagian besar ahli ilmu.
- Dia adalah wanita yang jika engkau melihatnya engkau merasa jijik atau tidak berminat karena umurnya yang telah tua. Ini adalah pendapat Rabi’ah.
- Dia adalah wanita yang terhenti dari mengandung. Ini adalah pendapat Abu ‘Ubaidah.
Pendapat yang ketiga ini dilemahkan oleh Imam Al-Qurthubi, karena wanita walaupun dia terhenti dari mengandung, lelaki masih bisa bersenang-senang dengannya. Dengan demikian, wanita yang dimaksud di dalam ayat di atas adalah seperti yang disebutkan di dalam pendapat yang pertama. Apabila seorang wanita sudah terhenti dari haid dan tidak mengandung lagi, serta tidak bisa melakukan apa-apa, maka para lelaki pun tidak akan memiliki rasa ketertarikan kepada wanita tersebut.
Para ulama berbeda pendapat tentang apa saja yang boleh ditanggalkan oleh para wanita yang sudah tua ketika mereka berhadapan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Pendapat mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
- Yang boleh ditanggalkan adalah al-khimaar (yaitu kerudung yang digunakan wanita saat ini), sehingga diperbolehkan untuk menampakkan kepala dan rambutnya.
- Yang boleh ditanggalkan adalah al-jilbaab (kain tambahan yang menutupi kerudung dan baju) atau al-qinaa’ (kain tambahan yang menutupi wajah) dan tidak boleh menanggalkan al-khimaar (kerudung), sehingga yang diperbolehkan hanyalah menampakkan wajah dan tidak boleh menampakkan kepala dan rambutnya.
Untuk menilai pendapat mana yang kuat, sebaiknya kita jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, apalagi kesimpulan tersebut hanya dipengaruhi oleh perasaan, hawa nafsu, budaya dan ikut-ikutan. Kita harus menumbuhkan sifat ilmiyah di dalam memahami permasalahan-permasalahan agama dan tidak mudah untuk taqlid atau mengikuti pendapat ustadz, kiyai, tuan guru atau tokoh masyarakat.
Pembahasan tentang Kedua Pendapat
- Pendapat yang pertama, yaitu pendapat yang boleh menampakkan kepala dan rambutnya.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, ‘Ikrimah, Sulaiman bin Yasar, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.[2]
- Pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang hanya boleh menampakkan wajah
Pendapat ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur al-mufassirin (sebagian besar ahli tafsir) di zaman dahulu, sebagaimana tercantum di dalam Tafsir Ibni Abi Hatim dan Tafsir At-Thabari. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, Ibnu Juraij, Muqatil, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Adh-Dhahhak, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Al-Baghawi[3], Al-Qurthubi[4], Ibnu Katsir[5], dll. Bahkan di dalam tafsir Ibni Abi Hatim, beliau menyebutkan terdapat riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan Sulaiman bin Yasar yang mengatakan seperti pendapat kedua ini.
Pendapat yang kuat dari kedua pendapat
Allahu a’lam bishshawaab. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, karena nukilan-nukilan yang menguatkan pendapat tersebut sangat banyak. Oleh karena itu, Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan di dalam tafsirnya,
“Sebagian kaum mengatakan bahwa wanita yang sudah tidak ingin menikah lagi jika rambutnya ditampakkan maka tidak mengapa. Oleh karena itu, (berdasarkan pendapat itu) dia diperbolehkan untuk melepas khimaar (kerudung)-nya. Dan (pendapat) yang benar, wanita tersebut hukumnya seperti wanita muda di dalam menutupi (tubuhnya). Hanya saja, wanita yang tua menanggalkan jilbab-nya yaitu yang dipakai di atas ad-dir’u (baju wanita) dan al-khimaar (kerudung). Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Jarir dan yang lainnya.”[6]
Dengan demikian, wanita yang sudah tua yang memiliki ciri di atas, hanya boleh membuka penutup wajahnya dan tetap memakai kerudungnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa di antara kebiasaan wanita muslimah di zaman dahulu adalah mengenakan kain tambahan selain gamis dan kerudung mereka, baik kain tersebut digunakan untuk menutupi wajah mereka dengan diikat atau dililit, atau menutupi seluruh tubuh mereka dengan kain lebar dari kepala sampai badannya.
Allahu a’lam bishshawab. Billahittaufiq.
[1] Lihat Tafsiir Al-Baghawi VI/62 dan Tafsiir Al-Qurthubi XII/309.
[2] Tafsiir Ibni Abi Haatim VIII/2641.
[3] Lihat Tafsiir Al-Baghawi VI/62.
[4] Lihat Tafsiir Al-Qurthubi 12/309.
[5] Lihat Tafsiir Ibni Katsiir VI/83-84.
[6] Tafsiir Al-Qurthubi XII/309.