Dari Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu; Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا التَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُولُ فِي النَّارِ»، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا القَاتِلُ فَمَا بَالُ المَقْتُولِ قَالَ: «إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
“Jika dua orang Muslim berhadapan dengan membawa pedang masing-masing, maka yang membunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk Neraka.” Aku (Nufai’) bertanya : “Wahai Rasulullah, inilah balasan (hukuman) yang layak bagi orang yang membunuh, tetapi apa dosa orang yang dibunuh?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia juga berhasrat untuk membunuh saudaranya itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Kandungan hadits :
1. Siapa saja yang berkeinginan keras untuk berbuat maksiat, yakni dengan meniatkannya sepenuh hati dan mengonsentrasikan diri dalam melakukannya serta sengaja mendekati sebab-sebabnya, maka dia berhak mendapat siksaanl namun urusannya terserah kepada Allah; Dia akan mengadzab orang itu jika menghendakinya, atau Dia akan mengampuni orang itu (jika menghendakinya). Dengan demikian, keinginan keras atau hasrat menempati posisi perbuatan yang hampir sempurna, yaitu apabila seseorang belum menyempurnakan atau merealisasikannya. Hal ini sebagaimana saya jelaskan dalam kitab Haadir Ruuh ilaa Ahkaamit Taubah an-Nasuuh, pada Bab “Taubatul ‘Aajiz (Taubat Orang yang Tidak Mampu)”.
2. Getaran hati dan bisikan jiwa termasuk hal yang dimaafkan. Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“…Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,” (QS. Al-Baqarah:284)
ayat tersebut telah mansukh (dihapus) oleh firman-Nya yang lain, yaitu:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya…” (QS. Al-Baqarah: 286)
3. Peringatan agar tidak terjadi perang saudara antar sesama umat Islam; sebab hal itu dapat melemahkan diri dan menggagalkan dakwah mereka, serta membuat Allah subhanahu wa ta’ala murka kepada mereka.
4. Yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah perang saudara (antar sesama umat Islam) yang terlarang, yaitu perang yang didasarkan pada kepentingan duniawi semata, baik karena kebodohan, kesewenang-wenangan, kezhaliman, ataupun karena mengikuti hawa nafsu.
Sedangkan perang (antarsesama kaum Muslimin) untuk membela kebenaran atau melawan kelompok (Muslim) yang sesat agar kembali kepada syari’at Allah ‘azza wa jalla, ini tidak termasuk perang yang dilarang oleh hadits tersebut. Sebab, seandainya setiap perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam harus disikapi dengan menahan diri atau tidak berperang, diam di rumah saja dan menyarungkan senjata, niscaya hukuman had tidak akan ditegakkan dan kebathilan pun tidak akan dapat diberantas.
Lebih dari itu, niscaya kaum fasik dengan mudah mendapatkan jalan untuk merampas harta orang lain, menumpahkan darah, merebut istri orang, dan merusak kehormatan dengan cara memerangi kaum Muslimin; sedangkan umat Islam diam saja karena berdalih bahwa fitnah ini harus disikapi dengan berupaya menahan diri dan tidak ikut berperang. Hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan perintah untuk membalas serangan orang-orang yang bodoh serta memerangi orang-orang yang berbuat zhalim dan bersikap sewenang-wenang.
5. Masuk Neraka tidak serta merta berarti abadi di dalamnya. Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah bagi kaum Khawarij yang mengkafirkan pelaku maksiat. Tidak pula bagi kaum Mu’tazilah yang menempatkan para pelaku dosa besar di antara dua posisi, alih-alih mengkafirkan mereka. Kedua kelompok itu bersekutu dalam menghukumi orang tersebut, yaitu keabadian di dalam Neraka Jahannam. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang Muslim pun karena dosa yang diperbuatnya, selama dia tidak menghalalkannya.
Oleh : Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali
Sumber : Syarah Riyadhush Shalihin, Pustaka Imam Asy-Syafi’i